17 Tren Internet yang Dinilai Merusak: Dari CleanTok hingga Prank Anak Kecil

Media sosial saat ini dipenuhi beragam tren yang viral dalam waktu singkat. Namun, tak semua tren tersebut membawa dampak positif. Dalam sebuah artikel terbaru, BuzzFeed mengumpulkan opini warganet global tentang tren internet yang dianggap berbahaya, mengganggu, atau bahkan merusak secara psikologis maupun sosial.

Berikut ini adalah 17 tren yang dianggap paling meresahkan menurut para pengguna internet dari berbagai belahan dunia:

1. CleanTok yang Mencampur Bahan Kimia Berbahaya

Tren video membersihkan rumah dengan berbagai produk pembersih memang terlihat memuaskan secara visual. Namun, banyak kreator justru mencampur cairan pembersih secara sembarangan, yang bisa menghasilkan reaksi kimia berbahaya.

2. Konten Gym yang Melanggar Privasi

Rekaman diam-diam terhadap orang-orang di pusat kebugaran demi konten “fitness cringe” kerap memicu perdebatan. Tak sedikit yang merasa dilecehkan atau dipermalukan karena tubuh mereka menjadi bahan tertawaan publik tanpa izin.

3. Budaya Konsumtif lewat Tren Haul

Video haul atau unboxing belanjaan mendorong budaya belanja berlebihan yang tidak ramah lingkungan. Selain menimbulkan tekanan sosial, tren ini juga memperkuat perilaku konsumtif di kalangan remaja.

4. Skincare Berlebihan dan Produk Tak Sesuai Umur

Banyak anak-anak dan remaja terpapar iklan skincare yang belum tentu cocok dengan usia atau jenis kulit mereka. Beberapa produk bahkan bisa merusak skin barrier jika digunakan tanpa pengetahuan dermatologis.

5. Video Prank yang Mengeksploitasi Anak

Tren video prank terhadap anak-anak kecil, seperti pura-pura memberi makanan tak enak atau menyampaikan kabar palsu, dinilai traumatis.

6. Obsesif dengan Kamera dan Konten

Tren vlogging kehidupan pribadi, termasuk saat menangis, bertengkar, atau mengalami tragedi, menunjukkan sisi lain media sosial yang tak sehat. Banyak yang mempertanyakan empati dan tujuan di balik konten seperti ini.

7. Konten yang Menormalisasi Perilaku Toxic

Beberapa konten hubungan asmara di TikTok atau YouTube justru meromantisasi sikap posesif, manipulatif, bahkan abusive. Narasi semacam ini bisa membentuk persepsi keliru di benak penonton muda.

8. Komentar yang Disalahgunakan untuk Interaksi Pribadi

Fenomena menuliskan komentar publik untuk menyapa teman sendiri—seperti “Hai Nisa, balas WA dong!”, di kolom komentar akun viral dinilai mengganggu dan tidak relevan.

9. Tren “Kesehatan Palsu” yang Berisiko

Banyak tren gaya hidup sehat yang sebenarnya justru tidak didasarkan pada ilmu medis, seperti detoks ekstrem atau klaim diet sepihak, justru berpotensi membahayakan tubuh dalam jangka panjang.

10. Merekam orang asing secara diam-diam

Banyak netizen merasa tidak nyaman melihat orang direkam tanpa izin lalu dijadikan konten aesthetic. Bahkan anak-anak dan orang lanjut usia pun tidak luput.

11. Challenge TikTok yang merusak sekolah

Mulai dari merusak toilet sampai menyerang guru, tren seperti ini dianggap mendorong perilaku kriminal di lingkungan pendidikan.

12. Vlog keluarga yang mengeksploitasi anak

Anak-anak dijadikan konten tanpa bisa memilih. Banyak yang khawatir dampak psikologisnya akan terasa di kemudian hari.

13. Vlog kehidupan sehari-hari nonstop

Tren merekam semua aktivitas pribadi dinilai membosankan dan tidak ada manfaatnya bagi penonton maupun pembuat konten.

14. Hubungan parasosial berlebihan

Menjadi terlalu terikat dengan seleb internet hingga melupakan hubungan nyata dinilai mengkhawatirkan secara sosial.

15. Rekam diri sendiri saat menangis

Banyak yang menganggap ini hanya upaya cari perhatian dan sangat tidak perlu.

16. Video meme dari AI

Konten seperti ini dinilai hanya memperparah attention span generasi muda dan menjauhkan orang dari interaksi nyata.

17. Vlog pasangan

Ketika pasangan jadi bahan konten dan penghasilan, hubungan bisa jadi terjebak demi “brand.” Banyak yang merasa ini terasa palsu dan tidak sehat.


Kritik sebagai Cermin Media Sosial

Beragam tren di atas mencerminkan bagaimana media sosial bisa menjadi ruang yang sangat berpengaruh, baik secara positif maupun negatif. Konten viral tidak selalu bermakna atau bermanfaat. Dalam banyak kasus, justru berpotensi menormalisasi perilaku yang salah demi mendapat perhatian.

Psikolog sosial menyarankan agar pengguna media sosial, terutama anak-anak dan remaja, didampingi dan diberi pemahaman tentang batas antara hiburan dan eksploitasi. Di sisi lain, para kreator konten pun diharapkan lebih etis dan bertanggung jawab dalam menyajikan informasi.


Bijak Bersosial Media

Menjadi viral tidak selalu berarti menjadi benar. Bijaklah dalam mengikuti tren, dan selalu tanyakan kembali: apakah ini bermanfaat? Aman? Etis? Karena di balik satu klik, bisa ada dampak jangka panjang yang tidak terlihat.